Selamat Datang

Anda memasuki kawasan bebas berfikir dan berpendapat

29 June 2006

Nasionalisme Is Dead?

Berbicara mengenai ideologi hari ini --minus kapitalisme--, kita berisiko menjadi bahan olok-olokan (kuno, udik, pendukung modernitas), baik itu yang datang dari spektrum “kanan”, maupun dari “kiri”. Karena zaman ideologi telah berakhir dengan kemenangan kapitalisme seperti yang ditaksrifkan oleh Francis Fukyama lewat the end of history and the last man.

Ideologi selain kapitalisme telah masuk tong sampah sejarah, sebagai fosil modernitas yang gagal membawa manusia menggapai puncak nirwana. Hanya kapitalisme yang berjaya karena ialah yang paling mampu memberikan pengakuan akan hak-hak individu, hanya kapitalisme yang bisa memakmurkan dan membahagiakan manusia. Yang lainnya tidak. Fasisme telah memerosokkan Eropa dalam kecamuk perang dunia ke II dan menghancurkan seluruh peradaban yang telah dibangun selama berabad-abad. Sosialisme khususnya varian Marxisme-Leninisme terbukti hanya --seperti dalam minifesto komunisme-- hantu yang meneror Eropa dengan perang saudara dan penindasan jutaan buruh dan petani Soviet demi ambisi pembangunan berjangkanya. Semua instrumennya tidak kita butuhkan lagi dan sudah seharusnya masuk museum sejarah. Tidak perlu lagi ada barisan rapi dibelakang bendera merahnya komunisme, tidak perlu lagi ada langkah-langkah panjang dalam parade Fasisme.

Kepalan tangan keatas, derap kaki yang rapi dan teriakan patriotik tidak penting lagi. Sekarang zamannya kita menyinsingkan baju dan melangkahkan kaki memeras keringat demi pertumbuhan ekonomi kapitalisme. Percuma sikap sosial, percuma rasa simpati dan tidak perlu resah melihat kemiskinan. Yang penting kita bekerja, hidup dan menikmati sekaleng Coca-Cola atau sepotong hamburger di sela waktu luang kita yang tersisa. Sudah saatnya kita menikmati kemewahan dan hidup nyaman seperti tawaran kapitalisme. Tidak ada gunanya menjadi fasisme atau komunisme. Karena fasisme atau komunisme telah mati sebagai gerakan praksis.

Keberhasilan kapitalisme menemukan mantel terbarunya, yakni globalisasi yang berintikan Neoliberalisme telah menggusur beragam ideologi besar yang pernah dianut dunia. Komunisme dan fasisme hanya tinggal puing dan takdirnya di akhiri mengendap dalam kepala para intelektual dan mengisi buku-buku berdebu di deretan pojok pustaka universitas. Sedang nasionalisme yang merupakan inti dari nation-state harus terengah-engah menghadapi gempuran Neoliberalisme dan mulai di singkirkan dengan hati-hati oleh para punggawanya.

Adalah Margaret Theacer Perdana Menteri Inggris dan Ronald Reagen Presiden Amerika Serikat yang pertama kali mengadopsi pandangan Neoliberalisme ini. Pandangan yang dikemukakan Milton Friedman dan Frederick Von Hayek ini merupakan anti tesis kegagalan negara kesejahteraan (welfare state) konsep John Maynard Keynes dalam menghadapi inflansi akibat kenaikan harga minyak dunia hasil kebijakan kartel minyak OPEC tahun 1970-an. Sebagai kredo politik, Neoliberalisme bertolak belakang dengan welfare state atau Keynesian dalam mengatur negara. Jika menurut Keynesian negara harus berperan aktif dalam pengaturan ekonomi dan pemerataan kekayaan maka dalam Neoliberalisme tidak. Negara tidak di bolehkan melakukan campur tangan atau intervensi dalam kebijakan ekonomi karena akan mengganggu kerja dari invisible hand pasar. Negara harus keluar dari semua kebijakan ekonomi termasuk kebijakan untuk kesejahteran rakyat – nasionalismekah landasan dalam kebijakan ini ? - seperti subsidi untuk rakyat miskin, karena program ini akan menimbulkan defisit anggaran. Keluarnya negara dari program ini akan menghasilkan penghematan anggaran, sehingga negara bisa melakukan insentif untuk investasi, berupa penurunan pajak perorangan ataupun perusahan yang otomatis akan merangsang pertumbuhan investasi dan memperlancar bergulirnya roda ekonomi.

Menurut Neoliberalisme, negara bukan saja harus melepaskan kontrolnya terhadap ekonomi, tapi juga wajib bertindak sebagai tuan rumah yang baik dalam menarik investor. Jika negara ingin makmur maka ia harus bisa menggaet investor dengan berbagai kemudahan, berupa pajak yang rendah, birokrasi yang sederhana, serikat buruh yang lemah dan deregulasi aturan yang menghambat akumulasi modal. Intinya negara hanya di jadikan sebagai penonton dalam pusaran perekonomian dunia.

Untuk mendukung mulusnya laju globalisasi, diciptakanlah berbagai instrumen global, yang bisa bertindak sebagai polisi yang akan menghukum negara bangsa yang melanggar aturan yang “disepakati”. Tiga yang paling penting dan paling aktif adalah IMF (international monetary fund), World Bank (WB), dan WTO (world trade organization). Ketiga lembaga ini memiliki kekuasaan yang besar, bahkan melebihi kekuasaan yang di miliki sebuah negara. IMF contohnya mampu memaksakan kebijakan neoliberalisme kepada sejumlah negara seperti yang terjadi di Indonesia lewat apa yang disebut structural adjusment program (SAPs) atau yang lebih dikenal dengan Letter of Intent (LoI). Yang salah satu isinya adalah privatisasi BUMN, dan pencabutan subsidi pada sektor publik seperti bidang pendidikan, kesehatan dan BBM – nasionalismekah landasan dalam kebijakan ini ? -. Sedangkan World Bank tiap tahunnya mengeluarkan Country Strategy Report (CSP) yang harus dilaksanakan oleh negara debitor seperti Indonesia jika tidak ingin diisolasi oleh negara donor.

Jika melihat isi dari LoI dan CSP tersebut maka tak heran jika Kwik Kian Gie –waktu itu menteri negara untuk badan perencanaan nasional—menyatakan bahwa yang memerintah Indonesia bukan negara Indonesia sendiri sebagai negara bangsa, tapi lembaga-lembaga internasional. Kita memang telah puluhan tahun merdeka secara politik, tapi sudah kehilangan kedaulatan dalam mengatur diri sendiri, lanjutnya. (Neoliberalisme, 2003. Kwik Kian Gie : membangun kekuatan nasional untuk kemandirian bangsa)

Maka ketika hari ini terjadi pemaksaan kebijakan dan pengambilalihan kekuasan negara oleh berbagai instrumen globalisasi dan di pinggirkannya negara sebagai lembaga yang mengemban kedaulatan rakyat, tidakkah Nasionalisme yang merupakan inti ideologi pembentukan negara bangsa mengalami krisis ?.

Ya, nasionalisme sedang sekarat dan ini di perparah dengan terjadinya revolusi telekomunikasi – pendorong utama globalisasi -- yang telah menggerus semua ikon-ikon Nasionalisme. Mulai dari ras, budaya, batas negara sampai pada keyakinan ekonomi. Semua negara mengalami homogenisasi, semuanya distandarisasi. Kita tidak bisa lagi membedakan mana “Barat”, mana “Timur”, mana Orietal, mana Oksident dalam hal budaya, semuanya sama. Dimana-mana berdiri megah CFC dengan bentuk yang sama, renyah, gurih dan bersaus merah.

Di bawah ancaman globalisasi, Nasionalisme menjelma menjadi berbagai ideologi-ideologi sempalan. Kita mengenal ultra-nasionalis kanan yang anti imigran asing, kita juga mengenal kelompok-kelompok teroris yang jengah melihat globalisasi, tetapi tidak melihat nasionalisme sebagai ideologi perlawanan. Nasionalisme hanya bergigi pada saat kolonialisme masih bersemangatkan Glory, Gospel, Gold, dan gagal menghadapi imperatif politik, ekonomi, kultural dan ekologis globalisasi.

Krisis Nasionalisme telah menyuburkan berbagai bentuk tribalisme yang kembali menguatkan puak, suku, ras dan agama sebagai benteng menghadapi petaka globalisasi. Jika globalisasi kita ibaratkan sebagai sebuah lubang hitam sentripetal yang mengisap semuanya, memerosokkan manusia dalam homogenitas, maka tribalisme menjadi antitesis yang destruktif bukan hanya akan menghancurkan demokrasi tapi juga nasionalisme. Oleh globalisasi, krisis Nasionalisme akan bertransformasi menjadi seperti yang dikatakan Mingue “ berawal dari dongeng putri tidur dan berakhir dengan kisah monster Frankestein” atau seperti Dr.Jekil yang cerdas di satu sisi dan Mrs Hyde yang mengindap sosiopatologis pada sisi lainnya.

Read More......

Tak Berjejak

telah kuhapus semua jejak-jejakmu
dikuncup mawar yang mulai mekar
membusuk tertepa panasnya pagi
malam yang berembun telah lenyap
matahari keemasan taklagi mempesonaku
tidak ada lagi hari ini
sebab esok telah datang
kita masih berjalan
malam gelap tanpa pondok berteduh
mengembara dan hilang

Read More......

12 June 2006

Titik

hidup hanya sebuah titik di dasar lembah luas kehidupan manusia. apakah takdir yang menyebabkan kita ada, ataukah sebuah keinginan bebas yang menjadi penyebab utama.

Read More......