Selamat Datang

Anda memasuki kawasan bebas berfikir dan berpendapat

29 August 2006

Yang Tak Tersentuh

Malam makin larut. Kira-kira pukul dua-an (kukatakan kira-kira karena disini tidak ada jam). Kamu tahu sendiri aku dimana, jadi tidak perlu aku kasih tahu lagi. Tanggal?, aku juga tidak tahu, seperti halnya jam, disini juga tidak ada almanak. Tapi aku yakin, sekarang lagi pertengahan bulan, lihat saja purnama menggantung di awan. Sinarnya lewat diantara besi-besi itu, menembus kegelapan menampilkan seberkas bayangan di dinding yang menghitam.

Bulan purnama?, ya dalam ingatanku, aku telah melewati seratus delapanpuluh bulan purnama di sini. Bulan purnama yang selalu mengingatkanku akan sesuatu. Ingatan masa lalu yang coba kukumpulkan, kurangkai, kubingkai dan akan kuhadirkan untukmu seperti pigura atau lukisan, sehingga kamu bisa mengamati jalanku. Jalan seorang lelaki yang bertarung dengan waktu, entah sampai kapan, mungkin sampai aku dikalahkan selamanya.

Aku ingat. Pamali kata orang-orang tua dikampung. Jangan pernah berkata apalagi bertanya tentangnya. Jangan pernah menyebut namanya. Ia adalah yang tak tersentuh, seperti waktu, ia abadi. Tidak pernah tua, datang dan pergi sesuka hatinya.
Dalam musyawarah agung tetua kampung di bulan purnama itu, semua keputusan ini diambil. Keputusan untuk mengubur ingatan tentang tak tersentuh dipikiran kami anak-anak kampung, selamanya.

Bertahun-tahun ia dilupakan, bertahun-tahun pula ia menghilang dan tak kembali. Sampai hari itu ia terbangun dalam ingatan ku, setelah duapuluh empat tahun sejak rapat agung tetua itu.

Enam bulan sebelum rapat agung itu, kampung kami geger dengan penemuan misterius sesosok mayat laki-laki tua. Ia dibunuh dengan luka yang mengenaskan. Dadanya dibuka, beberapa organ dalam tubuh dan jari manis kirinya hilang. Jantung dan hatinya ditemukan ber-uraian tidak jauh dari tubuhnya, agaknya jantung dan hati itu dimakan sipembunuh, sedang jari manis kirinya tidak pernah ditemukan dan tidak diketahui ada di mana.

Belum reda keheranan, belum terjawab tanya dibenak orang-orang kampung kami. Enam hari setelah itu kami kembali menemukan sesosok mayat laki-laki berumur lebih muda dari yang pertama dengan ciri-ciri luka yang sama, jantung dan hatinya hilang dan ditemukan ber-uraian tidak jauh dari tubuhnya, sedangkan jari manisnya (sekarang yang kanan) hilang tak tahu kemana. Sepertinya, ia dibunuh oleh pembunuh yang sama, dan yang pasti bukan oleh binatang buas, karena binatang buas tidak akan mengambil bagian-bagian tertentu saja. Binatang buas akan memakan semua bagian tubuh korbannya.
Penemuan mayat kedua ini mulai meresahkan orang-orang, kampung bersiaga. Setiap laki-laki dewasa diwajibkan ikut ronda secara bergantian. Walaupun sampai saat itu, korbannya bukan warga kampung kami, tapi siapa tahu ia akan beralih, menyerang orang-orang kampung. Ronda ternyata tidak menghalanginya untuk membunuh, beberapa minggu kemudian kembali ditemukan mayat, sekarang bukan laki-laki tapi seorang wanita muda.

Tidak ada bekas perkosaan padanya seperti pada kematian wanita muda lainnya. Ia dibunuh sama dengan yang lainnya, dengan satu tujuan, yang sampai saat ini tidak bisa aku pahami. Ciri lukanya lagi-lagi sama dengan yang sudah-sudah. Kecuali jarinya, yang ini bukan kehilangan jari manis kiri atau kanannya, tapi kehilangan kelingking kirinya.

Sipembunuh telah menjadi momok yang menakutkan bagi kami, ia seperti hantu. Berbagai upaya telah dilaklukan, termasuk mengirimkan algojo untuk membunuhnya, tapi hasilnya nihil dan sia-sia. Korban demi korban terus berjatuhan. Ia telah membuat anak-anak takut untuk ngaji kelanggar, membuat kampung sepi senyap. Kampung nyaris mati sejak pukul 7 malam. Semuanya mengunci diri dalam rumah sambil berharap ia tak mendatangi, menambah daftar korbannya yang kesekian orang. Sejak itu ia dijulukinya Yang Tak Tersentuh. Aku tidak tahu dari mana asal julukan itu, tapi semua orang mengatakan demikian, mungkin takut menyebut namanya atau mungkin juga tidak tahu siapa dia.
Yang Tak Tersentuh begitu misterius, semisterius motif dan untuk apa ia melakukan pembunuhan itu. Para tetua kampung yakin Ia adalah iblis yang sedang menjelma untuk menyempurnakan ilmunya dengan tumbal orang-orang yang berbeda. Ia butuh semua bagian tubuh manusia, mulai dari jantung, hati telinga semuanya. Kecuali mungkin kelamin, kepala atau payudara, karena dari semua korbanya kami tidak temukan ketiga bagian itu yang hilang.

“Peristiwa ini telah menghantui kita selama enam bulan, berbagai upaya telah kita lakukan termasuk mengirim algojo untuk memburunya. Tapi hasilnya sia-sia. Apakah kita ingin peristiwa ini tertanam dalam benak anak-anak kita sehingga mereka takut dan tidak mau kelanggar ?”. Kata ketua Abas dengan suara beratnya memulai rapat agung tetua kampung pada malam purnama, bulan keenam sejak peristiwa itu.

“Ya, kejadian ini tidak bisa kita biarkan begitu saja, ia harus dilenyapkan dari pikiran penduduk dan anak-anak kita” Mbah Risat menimpali.

Anak-anak dilarang untuk mendengar pembicaraan itu. Ini adalah rapat agung, jangankan anak-anak, perempuanpun dilarang hadir, mereka tak berhak. Tapi aku bisa mendengarkan semuanya dengan jelas, karena rapat dilangsungkan dirumahku, sebenarnya bukan rumahku tapi rumah kampung. Ya, rapat memang dilakukan dibalairung kampung tempat aku dan ketua Abas, kakekku, tinggal.

Rapat berlangsung berjam-jam, dengan perdebatan. Kadang dengan suara tinggi, kadang dengan emosi, kadang dengan berbisik-bisik. Tapi tidak ada seorangpun yang aku dengar menyebutnya iblis, semuanya memanggil dengan yang tak tersentuh. Semua pembicaraan itu terdengar jelas olehku, meskipun tidak semuanya bisa kutangkap maknanya, karena waktu itu aku masih lima tahunan.
“Kita harus mengubur masalah ini selamanya, kita semua tidak ingin batin generasi penerus kita terganggu dengan peristiwa ini” mbah Diro berapi-api, seperti biasanya disetiap rapat agung.

“Tapi bagaimana caranya, semua ini terjadi dijaman anak-anak kita dan mereka semua sudah mengetahuinya” kata yang lainnya, aku tidak tahu siapa dia, aku tidak kenal suaranya.

“Kita menguburnya dengan tidak membicarakannya, mengingatnya Pamali” Akhirnya ketua Abas menutup rapat dengan kesimpulan memupus yang tak tersentuh dari ingatan kami. Membuangnya jauh didalam alam bawah sadar kami. Sejarahnya dihapus. Titik.
Semuannya memilih diam, ketika aku coba bertanya. Mungkin takut dengan Yang tak tersentuh atau takut dengan hukuman para tetua, aku tidak tahu. Tapi kadang aku menyaksikan sesekali ibu-ibu berbicara sambil berbisik-bisik, mungkin membicarakannya atau bergunjing tentang anak gadis siapa lagi yang hamil tanpa nikah.

Langgar ramai kembali. Aktifitas kampung berjalan normal. Tanpa terjadi apa-apa. Yang tak tersentuh juga tidak menambah korban lagi. Mungkin telah sempurna ilmunya atau mungkin ia membuang korbannya kekampung lain.
Semuanya lancar. Waktu berjalan, kampung kami tersentuh sedikit modernisasi. Dikampung sudah ada listrik, televisi. Para tetua sudah banyak yang meninggal. Ketua Abas meninggal beberapa tahun kemudian. Aku tidak lagi menempati balairung. Balairung tidak pernah digunakan lagi, sebagian atapnya sudah roboh dan lapuk. Para tetua tidak pernah rapat agung lagi, katanya semua keputusan sudah ditentukan dari atas, sudah diatur dan pasti. Sidang-sidang di balai desa tidak pernah disertai dengan perdebatan seperti rapat para tetua, hanya ada satu koor, keteraturan.

Semuanya terkendali dan damai, sampai peristiwa menggemparkan terjadi. Hari itu ditemukan lagi (kubilang lagi, karena peristiwa ini pernah terjadi dupuluh empat tahun yang lalu) mayat tanpa jantung, hati dan jari manis kiri. Ingatan duapuluh empat tahun yang lalu yang nyaris aku lupakan, melompat dari alam bawah sadarku dan menari-nari dikepala ini. Ingatan yang terpaksa dikubur oleh rapat agung tetua menemukan energi pendorong muncul kepermukaan.

Aku yang pernah hidup dijaman itu, tahu betul bahwa peristiwa ini akan beruntun. Dan benar saja penemuan mayat pertama, segera disusul dengan penemuan kedua, ketiga dan seterusnya dengan ciri korban seperti dulu, berurutan. Semua ingatan kami tertuju pada Yang tak tersentuh, apalagi yang ini lebih kuat dari pada yang dulu. Mungkin ia semakin sakti, sehingga tidak butuh sepuluh orang seperti dulu, tapi lebih. Karena sampai beberapa hari, korbanya telah mencapai puluhan orang. Sekarang bukan hanya jantung, hati, jari manis, kelingking dan lainnya yang diambil, tapi juga kepala, kelamin dan payudara, bagian yang dulu tak pernah diambil Yang tak tersentuh.

Seperti dahulu, kami juga tidak berani membicarakannya, bertanya tentangnya. Bedanya, duapuluh empat tahun lalu kami takut karena rapat agung tetua melarangnya. Hari itu, kami tidak membicarakannya bukan takut pada tetua, tapi kami takut pada para algojo yang memburunya. Membicarakannya berarti menyiapkan diri jadi saksi keberadaannya dan akhirnya bisa-bisa menjadi Dia. Para algojo hari itu bukan suruhan tetua seperti dulu, yang bertindak demi keamanan kampung dan berbuat setelah ada keputusan para tetua di rapat agung balairung. Para algojo hari itu bertindak untuk mencari pangkat, pujian, hadiah atau promosi jabatan. Mereka bertindak bukan setelah musyawarah tapi perintah dari atas. Mudah saja bagi mereka menetapkan siapa Yang tak tersentuh. Karena menangkapnya berarti hadiah, pangkat dan promosi jabatan, mungkin menjadi kepala algojo, terlepas apakah yang tertangkap memang Yang tak tersentuh atau bukan. Ia bisa dibuat dan ditetapkan.

Ia tak pernah dibicarakan bukan karena pamali. Ia tidak dibicarakan, karena mungkin saja telinga para algojo menempel ditembok-tembok jalan, sekolah atau perkarangan rumah kami. Atau mata mereka terselib dimana-mana, ya, dijembatan, di langgar bahkan di Wc. Membicarakan yang tak tersentuh pagi hari, berarti menyiapkan diri untuk dijemput para algojo dimalam harinya.
Tapi aku tidak mampu menguburnya lagi, membuang sejarahnya. Ia adalah bagian dari kehidupan kami, apapun ia, apapun motifnya. Aku tidak ingin peristiwa ini terkubur lagi, hilang ditelan waktu, kemudian kita gagap menghadapainya ketika ia muncul kembali. Kita bingung apa yang akan dilakukan karena kita tidak terbiasa menghadapinya. Sejarahnya harus kita ungkap, agar kita tahu siapa dia, darimana ia, supaya suatu saat kita tidak meraba-meraba keberadaannya atau salah mengenalinya.

Makanya anakku, aku tulis surat ini, untukmu dalam keheningan malam di penjara tua, tempat ratusan tahanan berkelahi dengan waktu.
Para algojo itu telah menangkapku, bapakmu ini. Ketika dengan kesadaran aku bicara tentang ia, aku beberkan siapa dia dan bagaimana sejarahnya dulu. Aku dipanggil, anakku, awalnya jadi saksi kemudian entah kenapa menjadi dia. Dipenjara disini, entah sampai kapan. Kamu pasti tidak ingat bagaimana tangisan ibumu waktu itu, bagaimana sorot mata para algojo itu, karena kamu masih anak-anak, masih ingusan.

Anakku kisah ini kuceritakan supaya kamu tahu, aku, bapakmu ini bukan yang tak tersentuh. Supaya kamu tahu aku pernah mengubur ingatan itu dalam-dalam, seperti mereka hari ini mencoba mengubur ingatanmu, tentang aku, kampungmu, bangsamu, sejarahmu, semuanya anakku. Aku yakin dengan membaca surat ini, kau kan coba bongkar kembali ingatan masa silammu. Sejarah hari ini milikmu, kenalilah semuanya karena bisa saja apa yang kamu lihat hari ini hanya ilusi. Dan kebenaran yang sesungguhnya terkubur dalam. Bertanyalah, karena hakikat manusia adalah bertanya.
Sekian dulu anakku, mudah-mudahan aku mampu mengalahkan waktu dan kita bertemu kembali. Suatu waktu. Semoga.

Disuatu tempat, pada purnama
Salama ayahmu

Syarippudin

Read More......

22 August 2006

"Penggusuran itu, Hampir Renggut Nyawa Anakku"

Setiap perlakuan tidak adil kepada kaum miskin, pastinya meninggal kisah sedih. Seperti yang dialami ibu muda satu ini. Pembongkaran lapak tempat dia berjualan oleh satuan pol pp, hampir saja merenggut nyawa anaknya.

Kesedihan masih tergurat jelas di kening wanita muda ini.Tatapannya kosong, peristiwa penggusuran "lapau"nya di pasar pagi Jl. juanda, Senin (14/8) masih tetap menghantuinya.Kenapa tidak, peristiwa itu hampir saja merenggut nyawa anak bungsunya, Fitri (10 bulan). Akunya, Fitri sedang lelap tertidur di dalam "lapau" ketika seorang Satpol Pamong Praja naik keatas atap dan menghancurkan atap "lapaunya". Akibatnya wajah Fitri tergores kayu yang jatuh dari atap "lapau".

Elimarni (31 tahun) begitu wanita muda ini biasanya di sapa, terlihat letih di lapak sederhana yang dia bangun kembali di bekas "lapau"nya yang hancur.Sambil "memangku" Fitri yang tertidur lelap,Kepada POSMETRO ia bercerita bahwa penggusuran "lapau"nya telah menghancurkan harapan terakhir yang dimilikinya. Dengan "lapau" itu ia selama ini menafkahi empat orang anaknya dan menyekolahkan tiga diantaranya. Selasa (22/8), ketika menanyakan perihal suaminya, mata wanita yang sehari-hari tinggal di rumah kontrakan di Jl. Rasak No 3 Rt IV Lolong ini berkaca-kaca. Dari pengakuannya,sudah enam bulan ini suaminya pergi meninggalkan mereka.

"jan kan ka mangirim pitih untuk anak-anaknyo,mangagiah kaba inyo dima kini pun indak adoh" katanya sambil menyeka air mata yang mulai menetes di pipinya. Dibekas puing-puing "lapau"nya, ia membangun lapak sederhana. Dengan bermodalkan payung besar dan meja bekas, ia berusaha membangun kehidupannya kembali, menguntai asa yang mulai memudar. Nyaris sejak kepergian suaminya ia sendiri yang harus bergelut dengan waktu untuk dapat bertahan hidup.

"uni manggaleh karano ndak adoh yang bisa uni lakukan untuk hiduik,kini kanai gusur pulo"ucapnya. Dia bukannya tidak menuntut ganti rugi atas "lapau" yang di belinya tiga tahun silam. Bersama 9 orang pedagang pasar pagi lainnya ia mendatangi kantor DPRD padang, selasa 15/08/2006). Tapi sampai tulisan ini dibuat belum ada tindak lanjut dari dewan. Dia mengaku tidak habis fikir kenapa Pemko menggusurnya dan untuk apa ?. Menurutnya dia bisa menerima penggusuran ini,asalkan ada ganti rugi yang layak atau tempat jualan yang setara dengan yang di pasar pagi.

Matahari telah beranjak tinggi,Fitri anaknya terlelap berkeringat di lapak sederhana itu. Bocah malang itu telah mengalami begitu banyak kesedihan yang harus di tanggung di usianya yang sangat belia.Dia telah kehilangan kasih sayang bapaknya, dan hari ini kekejaman dunia juga telah merenggut satu-satunya harapan ibu. (***)

Read More......