Selamat Datang

Anda memasuki kawasan bebas berfikir dan berpendapat

22 April 2007

Pers dan Dunia Mafia

Sejak dilahirkan kembali pada 1998, kebebasan pers di Indonesia cenderung memunculkan sebuah ironi. Kebebasan pers yang diperjuangan insan pers sejak bertahun-tahun silam, ditanggapi dingin, bahkan dikecam dan dihujat masyarakat. Pers dianggap lebih banyak mengumbar kekerasan, pornografi, ketidakakuratan informasi dan konflik.

Kenyataan menunjukan, era keterbukaan media saat ini tidak dibarengi peningkatan kompetensi wartawan--elemen terpenting media. Keadaan itu diperparah dengan fakta bahwa dari sekitar 20 ribu wartawan yang terdata di Indonesia, hanya 30 % yang bekerja di media yang sehat. Sedangkan sisanya 70 %, bekerja di media yang tinggal menunggu ajal. Maka tidak bisa disalahkan jika masyarakat, menganggap dunia wartawan seperti "dunia mafia", sulit dikontrol, tidak terkendali dan cenderung mengabaikan etika.

Manifestasi data itu dilapagan, mempersubur munculnya fenomena wartawan amplop, wartawan bodrex yang selalu sakit kepala begitu ketemu narasumber, wartawan mutaber (muncul tanpa berita), wartawan CNN (Cuma Nanya-Nanya) dan sederet istilah lainnya.

Kendati pers Indonesia, telah memiliki kode etik Jurnalistik (KEJ), UU Pokok Pers dan Dewan Pers, namun fenomena wartawan seperti diatas masih jamak ditemui.

Anggota Dewan pers, Abdullah Alamuddi dan Wikrama Aryana Abidin di gedung Dewan Pers Kebon Sirih Jakarta, Kamis (18/4), menyebutkan hal itu. "Wartawan-wartawan seperti itulah yang merusak citra korp kewartawanan di Indonesia. Tingkah laku mereka juga menyulitkan kinerja kehumasan di berbagai lembaga, baik swasta maupun lembaga pemerintahan. Humas dalam kondisi itu tidak ubahnya seperti Sandwich, digencet dari atas dan bawah," ujar Alamuddi.

Alamuddi mengatakan keberadaan Dewan Pers, sebagaimana diamanatkan UU Pers No 40 Tahun 1999 tentang pers, sangat penting dalam mengawasi pelaksaan KEJ. Dalam pasal 15 ayat 2 UU Pokok Pers, Dewan Pers memiliki fungsi melindungi kebebasan pers dari campur tangan pihak lain, mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah, melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers. Selain itu dewan pers juga berfungsi memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan dan mendata perusahan pers.

"Setiap bulan, hampir 20 pengaduan dari masyarakat masuk ke dewan pers. Dan umumnya pengaduan itu berhubungan dengan KEJ. Kendati Dewan Pers tidak berhak memecat wartawan yang melanggar KEJ, namun Dewan Pers bisa merekomendasikan ke perusahaan pers untuk memberhentikannya," imbuh anggota dewan pers lainnya, Wikrama Aryana Abidin.

Ancaman kebebasan pers, kata Wikrama, bukan saja dari pejabat seperti marak di era orde baru, namun juga datang pemilik modal di media, organisas, oknum wartawan dan organisasi masyarakat. Sebuah berita bisa saja "menghilang" ketika ada intervensi dari kelompok di atas. Padahal, semestinya urusan redaksi tidak bisa dicampuri oleh orang-orang diluar redaksi, termasuk pemilik modal.

Dalam sejarahnya, pers tidak pernah mau di atur oleh pihak manapun. Pers berusaha mengatur dirinya sendiri (self regulation) dalam bentuk UU Pokok Pers dan KEJ. Lalu siapa yang mengontrol pers?. Jawabanya adalah masyarakat. Seleksi alam membuktikan, selang beberapa tahun pasca reformasi, ribuan perusahan pers yang tumbuh hanya tinggal tidak lebih dari setengahnya. Di tahun 1999, jumlah perusahan pers di Indonesia sebanyak 1800 perusahan dan menyusut kemudian menjadi 800 perusahan di tahun 2007.(*)

No comments: