Selamat Datang

Anda memasuki kawasan bebas berfikir dan berpendapat

19 November 2007

Mengenal Es Ito, Penulis Novel Rahasia Meede (1)

MEMPERKENALKAN INDONESIA SECARA UTUH

Bersemangat dan tidak jarang meledak-ledak. Mengkonstruksi disatu sisi tapi melakukan dekonstruksi di tempat lain. Memiliki pandangan jauh dalam membangun bangsa, khas kaum muda. Itulah ES Ito, penulis Novel Rahasia Meede. Berbicara dengan anak muda ini seperti berbicara dengan pemikir politik ketimbang seorang novelis.

ES Ito, penulis muda kelahiran Sumbar. Pujian setinggi langit diberikan banyak pihak pada buah karyanya, Rahasia Meede. Tidak salah memang, membaca Rahasia Meede kita menemukan realitas Indonesia yang sebenarnya. Sangat bertolak belakang dengan apa yang digambarkan dalam cerita-cerita sinetron atau novel-novel picisan lainnya. Pram muda sudah lahir.

"Pramudya Ananta Toer muda sudah lahir dengan kompleksitas penulis generasi abad 21 tetapi tetap gigih membela manusia dan merayakan kebebasan," kata essais dan penyair M Fadjroel Rachman dalam sepenggal pujiannya atas Rahasia Meede.

Pendapat Fadjroel Rahman itu kemudian dibantahnya. Dalam sebuah wawancara di Padang, Kamis (14/11), ES Ito mengatakan antara dia dengan Pram jelas sangat berbeda. Pram membangun kemegahannnya sendiri, dan dia juga sedang membangun kemegahannya sendiri. Siapa yang berhasil, waktu yang akan membuktikan. "Tapi penggambaran itu sah-sah saja. Karena siapapun yang menulis soal bangsa hari ini, pasti akan mirip dengan Pram," tandasnya pada malam itu.

"Setelah Pram, novel sejarah seperti ruang kosong yang tidak terisi. Penulis-penulis Indonesia terlalu sibuk dengan trend kediriannya masing-masing. Mereka ingin menularkan pengalamannya yang pahit tentang pendidikan, kisah cinta yang terlalu dilebih-lebihkan, misalnya. Itu tidak memberikan pencerahan terhadap bangsa. Tapi kalau penulis ingin memberikan pencerahan, dia harus melihat ke belakang," ungkap
putra pasangan Suardi Katik Batuah dengan Rosnadiar ini menjelaskan alasan ketertarikannya menulis novel sejarah.

Perbedaanya dengan Pram, bukan cuma dalam membangun kemegahan. Banyak hal lainnya. Pram menurutnya terlalu sibuk dengan Jawa dan melupakan Indonesia yang lain. Sedang Es Ito, membangun Indonesia. Menampilkannya dalam kesatuan bangsa yang utuh dalam satu entitas yang terbentuk sejak berpuluh-puluh abad silam.

Pram, menurut ES Ito tidak mencoba mengangkat bagian lain dari Indonesia untuk memberikan semangat perlawannan. Dia menafikan peran suku bangsa lain dalam mendirikan republik ini. Pram dalam novelnya bicara tentang medan priyayi, dan itu sangat Jawa. Tidak semua suku bangsa memiliki penulis. Tidak ada orang Papua, Bugis dan lainnya yang jadi penulis terkenal. Siapa yang akan mengangkat mereka.

"Bagaimana feel (perasaan) orang Papua terhadap republik ini, jika dia tidak menjadi bagian dari entitas budaya republik ini. Tidak ada yang bisa memastikan kalau Papua satu nasionalisme dengan suku bangsa lainnya, seperti jawa yang digambarkan Pram. Harus ada yang memulai. Karena, sejarah berada pada posisi berbeda. Waktu tidaklah linear. Waktu itu acak. Apa yang terjadi dimasa lampau bisa saja terjadi dimasa
mendatang. Sejarah bukan sesuatu yang hilang ditelan begitu oleh waktu. Menulis sejarah berarti memprediksi masa depan. Dan tugas seorang penulis adalah menggariskan masa depan. Tugas ini belum banyak yang mengambilnya," kata ES Ito.

Dia juga menolak disamakan dengan Dan Brown, penulis novel fenomenal Da Vinci Code. Meski diakuinya memiliki gaya penceriataan yang sama, namun dia menolak mengekor Brown. Dikatakan ES Ito perbedaan mendasarnya dengan Brown adalah, Brown mengangkat isu-isu kuno soal agama. Novelnya menjadi menarik karena menyentuh standar moral seseorang soal agama. Sedang dia, mencipatan dunia baru, membuat peradaban baru.

"Saya memperkenalkan Indonesia pada dunia secara utuh. Brown tidak. Dia hanya mempromosikan sesuatu yang sudah terjadi dimasa lalu. Konflik agama. Itu lumrah," ujarnya.

Lalu apa tugas seorang penulis sebenarnya? Penulis, kata Ito, harus memberikan kesadaran baru kepada masyarakat, membengkokan peradaban. Itulah yang dilakukan Maxim Gorki yang menginspirasi revolusi Bolsyevik tahun 1917 lewat Novel Ibunda yang ditulisnya pada 1906. Itu juga yang dilakukan Pram dengan tetraloginya, walau semua tahu, itu tidak memberikan dampak politik apa-apa bagi Indonesia, kecuali Partai Rakyat Demokratik (PRD). Itu juga yang dilakukan penulis Ceko yang menumbangkan Rezim Sosialis di Ceko. Kata-kata mereka jauh lebih kuat dari tank-tank Soviet yang ada di Ceko.(nto)

No comments: