Selamat Datang

Anda memasuki kawasan bebas berfikir dan berpendapat

19 November 2007

Mengenal Es Ito, Penulis Novel Rahasia Meede (3/habis)

"SAYA TAK AKAN BERALIH"

Menghabiskan 2 jam dengan ES Ito, kita diajak pada kedalaman pemahamannya tentang banyak hal. Selama wawancara itu, sebatang rokok terus bermain disela-sela jari-jarinya. Pembicaraan pun melompat dari satu topik ke topik lainnya. Tentang identitasnya sebagai orang Minang misalnya, dan kenapa identitas ke-Minangannya itu selalu masuk dalam novelnya. ES Ito mengatakan, kalau ingin terlibat dalam percaturan global. Maka akar berpijak adalah tanah kelahiran. Demikian yang terjadi pada orang-orang Italia di New York.

Semua orang, katanya, harus punya dedikatif hidup pada tanah kelahirannya masing-masing. Karena akar terdalam seseorang adalah ibunya dan tanah kelahirannya. Untuk menjadi besar, lanjutnya, orang tak boleh durhaka pada ibunya, pertama ibu kandung kedua tanah kelahiran. Semua orang Minang, tambahnya, tidak bisa lepas dari konteks historis. Dalam artian, terkena kutukana sejarah terhadap bangsa ini, karena orang Minang terlibat dalam pembentukan republik ini.

"Itu kutukan sejarah yang tidak bisa kita hindari dan terus membebani, sehingga menjadikan kita lebih kerdil sepeti saat ini," imbuh Ito.

Obsesi terbesarnya sebagai novelis adalah menuliskan Perang Kamang, Rafles, Tan Malaka. Selain itu ES Ito juga terobsesi menulis PRRI. Sejarah-sejarah itu belum banyak yang terungkap. PRRI misalnya, sejarah yang diajarkan sekolah selama ini membuat orang Minang mati secara kultur. Sumbar dituduh memberontak, padahal kenyataannya PRRI hanya ingin pergantian pemerintah, bukan keluar dari NKRI.

Pembicaraan terus beralih dari satu topik ke topik lainnya dengan sangat cepat. Tentang buku ES Ito yang kaya data sejarah misalnya. Ternyata tidaklah mudah menghasilkan karya seperti Rahasia Meede. Banyak studi pustaka, wawancara, penelitian dokumen dan bahkan studi lapangan yang dilakukannya. ES Ito melakukan studi di Gedung Arsip Nasional Jakarta untuk dokumen-dokumen KMB. Melakukan wawancara dengan sejarahwan Jakarta, Alwi Sahap, untuk menggali data tentang VOC, Batavia dan Pieter Erberveld. Dia juga mendatangi kepuluan Mentawai, Papua dan Pulau Hondrus, untuk
mendeskripsikan secara langsung daerah itu dalam novelnya. Studi dan penelitian itu, katanya, harus dilakukan setiap penulis, seberapa pun terbatas bujetnya.

"Kita harus menampakan potret asli rakyat. Kita tidak bisa lagi menyajikan mimpi-mimpi yang tidak mungkin terjadi. Novel-novel yang menampilkan mimpi, tidak lebih dari roman picisan, menurut saya," katanya.

Pertanyaan terakhir yang diujung wawancara, cukup membuat dia berfikir sejenak. Sampai sejauhmana dia akan bertahan dengan gaya bercerita yang realisme seperti itu, dan tidak akan tergoda menulis bentuk lain yang lebih easy (mudah)? Buku, katanya, adalah sebuah produk dan ada nilai bisnis didalamnya. Tapi, dia yakin buku bertemakan realisme dengan pendekatan sejarah tidak akan habis. Yang berganti hanya cara penyampaiannya, sedang substansi tidak akan berubah.

"Saya tidak akan beralih. Kalau ditanyakan apakah saya bisa hidup dari menulis? Tanyakan hal yang sama kepada presiden. Apa dia bisa hidup sebagai presiden. Presiden dan penulis tidak jauh berbeda. Presiden pasti memikirkan apakah pemilih masih mood dengan dia. Begitu juga penulis, apakah pembaca masih menyukai karyanya," ujar ES Ito.

Dia benar, hidup adalah sebuah pilihan. Dan setiap pilihan itu mengandung resiko yang berbeda. Dia telah memilih dan siap menganggung konsekuensi yang ditimbulkan atas pilihannya itu. (*)

No comments: