Selamat Datang

Anda memasuki kawasan bebas berfikir dan berpendapat

20 November 2007

Pram Muda itu Telah Lahir

Tiga tulisan diawal merupakan intreprestasi saya atas rekaman wawancara dengan ES Ito disuatu malam, seusai penulis muda ini bedah karyanya, Rahasia Meede. Berikut kutipan lengkapnya (*)

Kenapa tertarik menulis fiksi sejarah?

setelah Pram, novel sejarah seperti ruang kosong yang tidak terisi. Penulis-penulis Indonesia terlalu sibuk dengan trend kediriannya masing-masing. Mereka ingin menularkan pengalamannya yang pahit tentang pendidikan, kisah cinta yang terlalu dilebih-lebihkan, misalnya. Itu tidak memberikan pencerahan terhadap bangasa. Tapi kalau penulis ingin memberikan pencerahan, dia harus melihat ke belakang

Sejarah berada pada posisi berbeda. Waktu tidaklah linear. Waktu itu acak. Apa yang terjadi dimasa lampau bisa saja terjadi dimasa mendatang. Sejarah bukan sesuatu yang hilang ditelan begitu oleh waktu. Menulis sejarah berarti memprediksi masa depan. Dan tugas seorang penulis adalah menggariskan masa depan. Tugas ini belum banyak yang mengambilnya.

Bagaimana dengan Pram?

Pram terlalu sibuk dengan Jawa.

Jawa sentris?

Tidak Jawa sentris. Tapi dia tidak mencoba mengangkat bagian lain dari Indonesia untuk memberikan semangat perlawannan. Dia menafikan peran suku bangsa lain dalam mendirtikan republik ini. Pram dalam novelnya bicara tentang medan Priyayi, dan itu sangat Jawa. Tidak semua suku bangsa memiliki penulis. Tidak ada orang Papua, Bugis dan lainnya yang jadi penulis terkenal. Siapa yang akan mengangkat mereka. Bagaimana feel (perasaan) orang Papua terhadap republik ini, jika dia tidak menjadi bagian dari entitas budaya republik ini. Tidak ada yang bisa memastikan kalau Papua satu nasionalisme dengan kita, kalau tidak ada yang mengenalkan. Harus ada yang memulai.

Ada kemiripan anda dan Pram dengan realisme sosialisnya, bagaimana tanggapan anda?

Kalau kita menulis soal sekarang, mengambil kontek sosial dan politik sekarang. Itu memang harus realis. Tidak berarti, saya mengambil apa yang dilakukan Pram. Apapun yang kita gambarkan saat ini adalah realis. Politik kita, identitas demokrasi kita, semuanya penuh omong kosong. Keterwakilan seperti yang disinggung tokoh Kale dalam Rahasia Meede, hanya orang gila yang berdemokrasi. Siapaun yang menulis soal bangsa saat ini, pasti akan mirip dengan Pram.

Ada yang menyamakan anda dengan Pram muda, apa pendapat anda?

Itu sah-sah saja. Tapi saya dan Pram jelas berbeda. Pram membangun kemegahannnya sendiri, saya juga sedang membangun kemegahan saya sendiri. Siapa yang berhasil kita lihat nantilah. Kalau Pram masih hidup saya bakal tukar tandatangan dengan beliau.

Ada juga yang mengatakan gaya anda mirip dengan Dan Brown?

Gaya bercerita seperti itu bukan hanya milik Brown. Kenapa orang tidak menanyakan, bukannya Brown yang belajar ke Sidney Sheldon. Saya lebih dulu baca Sidney ketimbang Brown. Saya dengan Brown berbeda. Brown mengangkat isu-isu kuno soal agama. Dan menjadi menarik, karena brown menyentuh standar moral sesorang soal agama. Sedang saya mencipatan dunia baru, saya menciptakan peradaban baru. Saya memperkenalkan Indonesia pada dunia secara utuh. Bukan etnis dan agama.

Brown tidak mempromosikan Eropa atau Amerika, tapi Brownm mempromosikan sesutu yang sudah terjadi dimasa lalu. Konflik agama. Itu lumrah. Sedang saya menampilkan kesatuan sebuah bangsa dalam satu entitas yang terbentuk sejak berpuluh-puluh abad silam. Dan itu hanya terjadi di Indonesia. Brown jelas tidak mungkin mengungkap Amerika seperti saya mengungkapkan Indonesia

Apakah Rahasia Meede sudah mengungkapakan Indonesia secara utuh?

Belum dan harusnya memang belum. Harus ada penulis lain yang mengambil ini. Saat ini penulis terlalu sibuk dengan selera pembaca. Urusan saya menulis, kalau ada pembaca yang tidak suka, jangan baca. Urusan penulis menciptkan dunia baru, bukan mengikuti yang sudah ada.

Dalam Rahasia Meede diungkap soal harta karun VOC, apakah ini sebuah fakta?

Untuk yang ini, saya usulin pemerintah untuk membentuk tim saja.

Buku anda kaya denan dokumen sejarah, bagaimana mendapatkannya?

Saya melakukan studi di Gedung Arsip Nasional Jakarta untuk dokumen-dokumen KMB. Sedang untuk VOC, Batavia dan Pieter, saya melakukan wawancara dengan sejarahwan Alwi Sahap. Untuk Pulau Hondrus, Papua, Mentawai saya mendatanginnya. Intinya ada studi pustaka, wawancara, dan penelitian. Saya pikir untuk penulis zaman sekarang, studi dan penelitian itu harus dilakukan seberapa pun keterbatasan bujet kita. Kita harus menampakan potret asli rakyat. Kita tidak bisa lagi menyajikan mimpi-mimpi yang tidak mungkin terjadi. Novel-novel yang menampilkan mimpi, tidak lebih dari roman picisan. Tapi itu haknya penulis. Menurut saya harus ada penulis yang keluar dari itu.

Jadi apa sebenarnya tugas seorang penulis?

Tugasnya adalah memberikan kesadaran baru kepada masyarakat, membengkokan peradaban. Itu yang dilakukan Gorki (Maxim Gorki) yang menginspirasi revolusi Bolsyevik tahun 1917 lewat Ibunda yang ditulisnya pada 1906. Itu juga yang dilakukan Pram dengan tetraloginya, walau kita tahu tidak memberikan dampak politik apa-apa bagi Indonesia, kecuali PRD. Itu juga yang dilakukan penulis Ceko yang menumbangkan Rezim Sosialis di Ceko. Kata-kata mereka jauh lebih kuat dari tank-tank Soviet yang ada di Ceko.

Menurut saya, harus ada penulis yang mengambil posisi itu. Kita juga tidak bisa menutup mata kalau ada juga penulis yang menulis soal stensilan. Namun orang tidak harus menulis sesuai selera masyarakat. Saya menolak setiap upaya meminta saya menulis apa yang mereka inginkan. Saya hanya menulis apa yang saya inginkan.

Artinya penulis adala pendobrak awal perubahan?

Harusnya seperti itu. Kalau kita bicara konsep Nasionalisme Indonesia. Tidak ada satu pun kata-kata yang lebih menggemparkan ketimbang sebuah pamlet yang ditulis Raden Mas Soewardi Soerjaningrat “Ik eens Nederland Was” atau "Seandainya Saya Seorang Belanda". Dampak pamlet itu pengaruhnya jauh lebih masif ketimbang kongers SI (Syarikat Islam) yang dihadiri puluhan ribu orang.

Penulis itu memberikan kesadaran baru bagi masyarakat. Bahkan wartawan pun, pada banyak hal jauh lebih berguna dari novelis.

Apakah ini bentuk sikap anda?

Setiap penulis harus membawa ideologi.

Tapi untuk mencapai kesadaran seperti itu, pasti ada tahapan-tahapan sebelumnya?

Kesadaran adalah himpunan dari pengalaman. Saya SMA di Taruna Nusantara, pedidikan militer. Kesadaran konyol tentang Indonesia ada disitu. Tapi cukup memberi wawasan tentang kesatuan Indonesia. Lalu saya kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, ikut demo juga, lalu jadi kordinator I BEM UI.

Itu pengalaman yang membentuk kesadaran. Saya pernah datang disebuah tempat minum didepan bundaran HI. Disana tempat terjadi tawar-menawar aksi demonstrasi. Proses-proses demokrasi seperti itu semuanya omong kosong. Kita hanya dimainkan wacana dan isu yang membuat otak ini semakin buntu. Hanya elit-elit yng bermain. Kesadaran yang dibangun media, TV pun, yang terus menerus berganti, membuat orang lupa pada esensi masalah.

Indonesia harus seperti apa dan saat ini bagaiamana?

Indonesia adalah proses yang belum selesai. Di negara ini banyak ketidakadilan, begitu amburadulnya sistem. Harusnya dalam kondisi ini, Indonesia bisa melahirkan penulis-penulis hebat di dunia. Kita hanya melahirkan Pram. Para politisi kita ketika bicara soal rakyat, dia punya misi meraup suara. Begitu juga SBY saat bicara rakyat dia juga sambil menatap 2009. Harus ada yang memberikan kesadaran-kesadaran baru bagi rakyat.

Buku adalah sebuah produk, ada nilai bisnis didalamnya. Apa anda tetap berkomitmen menulis buku sejenis, jika tidak lagi diminati secara bisnis?

Saya pikir, buku-buku seperti ini tidak pernah akan habis. Yang namanya realis tetap akan menjadi trend. Banyak muncul aliran-aliran baru realis, tapi substansi tetap sama. Umberto Eco, Dan brown dan lainnya, bisa mewakili itu. Saya Insya Allah tidak akan beralih.

Bagaimana pandangan anda soal novel-novel Teenlit, Roman Picisan dan sebagainya?

Tidak ada hak saya untuk mengemontarinya. Orang cari duit. Tapi mereka bertanggung jawab membentuk bangsa ini menjadi instan. Sebenarnya yang lebih diwaspadai adalah teenlit yang dibungkus agama. Kalau yang sekuler bisa dihindarkan. Kita punya perangkat untuk itu. Tapi kalau dibungkus agama gimana.

Yakin bisa hidup sebagai penulis?

Tanyakan hal yang sama pada presiden. Apa dia bisa hidup sebagai presiden. Presiden dan penulis tidak jauh berbeda. Presiden pasti akan memikirkan apakah pemilih masih mood dengan dia. Begitu juga penulis, apakah pembaca masih menyukai karyanya.

Dalam novel anda sering dibawa identitas Minang, kenapa?

Kalau kita ingin terlibat dalam percaturan global. Maka akarnya adalah tanah kelahiran kita. Ketika orang Itali di New York, mereka akan bangga sebagai orang Sisilia. Kita harus punya dedikatif hidup pada tanah kelahiran kita. Dan ini bukan etnosentris. Akar terdalam seseorang adalah, pertama ibunya, kedua tanah kelahirannya. Itulah kenapa saya memasukan daerah-daerah di sumbar. Untuk menjadi besar, orang tak boleh durhaka pada ibunya, pertama ibu kandung kedua tanah kelahirannya.

Kita juga tidak bisa lepas dari konteks historis, Orang Minang terlibat dalam pembentukan republik ini. Itu kutukan sejarah yang tidak bisa kita hindari. Yang terus membebani kita sangat besar, sehingga kita menjadi kerdil saat ini.

Kenapa tentang diri anda sangat sedikit diulas?

Saya kan bukan penulis murahan. Kalau saya penulis murahan, saya tuliskan semuanya. Tapi ngapain saya menonjolkan apa yang telah berlalu. Pernah diburu 50-an pasukan berani mati, sedang kami hanya 13 orang. Hal seperti ini sudah berlalu dalam hidup saya, terlalu cengeng untuk saya tuliskan. Penggemar CV itu untuk lamar kerja bukan untuk penulis.

Apa rencana anda setelah ini?

Saya sekarang sedang memikirkan sebuah cerita yang substansinya sama. Konsepnya sama dengan sekarang, tetap mengangkat realistas yang ada. Tapi lebih tipis dan ringan. Obsesi terbesar saya adalah menulis soal Perang Kamang. Namun untuk membuat karya ini saya harus melakukan studi ke Belanda, karena disana data-datanya paling lengkap. Tradisi kaba di Minangkabau menyulitkan saya. Selain itu, saya juga mau menulis soal Rafles, Tan Malaka, tapi pada konteks yang lebih pelik, masa lalu.

Saya juga mau menulis tentang PRRI. Masih banyak yang belum terungkap. Ini tantangan buat anak-anak Padang. Karena PRRI adalah model otonomi daerah yang diingkari Jakarta. Sumbar tidak pernah melepaskan diri dari NKRI, yang ingin diganti adalah pemerintahnya. Penumpasan PRRI dikenal sebagai operasi Agustus. Sebagai orang minang, kita tidak boleh bangga dengan operasi itu. Karena membuat orang Minang mati secara kultur. Saya ingin tanyakan, apa yang diajarkan buku-buku sejarah pada kita soal ini. Pada 1958 itu, PRRI jauh lebih benar dari pada RI.

Apakah anda akan menulis buku teks sejarah?

Kayaknya ngak, saya belum siap menggantikan Nugroho Notosusanto.. (hahahaaa)(*)

No comments: