Selamat Datang

Anda memasuki kawasan bebas berfikir dan berpendapat

19 November 2007

Mengenal Es Ito, Penulis Novel Rahasia Meede (2)

"PENULIS, PENCIPTA DUNIA BARU"

Sejarah menjadi saksi bagaimana kekuatan goresan pena dalam mengubah sejarah dan menghebohkan sebuah tatanan yang mapan. Dicontohkannya, dalam konsep Nasionalisme Indonesia, tidak ada satupun kata-kata yang lebih menggemparkan ketimbang sebuah pamflet yang ditulis Raden Mas Soewardi Soerjaningrat "Ik eens Nederland Was" atau "Seandainya Saya Seorang Belanda". Dampak pamflet itu, jauh lebih masif ketimbang kongres SI (Syarikat Islam) yang dihadiri puluhan ribu orang.

Menurutnya, harus ada penulis yang mengambil posisi itu. Karena Indonesia adalah proses yang belum selesai. Di Indonesia banyak ketidakadilan, sistem yang amburadul. Harusnya dalam kondisi ini, Indonesia bisa melahirkan penulis-penulis hebat di dunia.

"Tapi kita hanya melahirkan Pram. Para politisi kita terlalu sibuk meraup suara. Harus ada yang memberikan kesadaran-kesadaran baru bagi rakyat. Saat ini penulis terlalu sibuk dengan selera pembaca. Urusan saya menulis, kalau ada pembaca yang tidak suka, jangan baca. Urusan penulis menciptakan dunia baru, bukan mengikuti yang sudah ada," lagi-lagi ketegasan sikapnya tampak dari setiap kata-katanya.

"Saya menolak setiap upaya meminta saya menulis apa yang mereka inginkan. Saya hanya menulis apa yang saya inginkan," katanya seakan medekonstruksi komersialilasi yang menghinggapi penulis-penulis Indonesia hari ini. Yang dibuktikan dengan maraknya cerita-ceritan teenlit, roman picisan, yang tidak menggambarkan kondisi Indonesia.

Malam terus berlanjut. Jam sudah menunjukan pukul 21.00 WIB. ES Ito hadir di Padang dalam rangka menghadir undangan bedah bukunya, Rahasia Meede. Dengan sedikit "memaksa" kami akhirnya bisa mengajaknya bicara soal karya dan buah pikirannya. Meski awalnya mengaku agak kelelahan dan ingin segera mandi, tapi ketika bicara soal padangannya terlihat ada rasa lapar di matanya. Ada impian besar yang sedang dicoba dibangunnya. Bukan untuknya, bukan untuk siapa-siapa. Tapi, untuk Indonesia.

Berbicara dengan Ito, kita diajak berdialog tentang banyak hal. Kata-katanya kadang melompat-lompat, namun denga alur pikiran yang tersistematis. Ini saya pikir sangatlah wajar, mengingat Ito memiliki latar belakang yang paradoks. Antara satu tahapan hidupnya dengan tahapan selanjutnya, cenderung bertolak belakang. Lahir dari keluarga petani tahun 1981 (seperti yang ditulis dalam profil singkatnya di Rahasia
Meede), ES Ito menghabiskan masa Sekolah Dasarnya di Magek. Seusai menamatkan SMP, penulis dengan nama lengkap Eddri Sumitra ini memasuki lingkungan baru di sekolah kemiliteran SMA Taruna Nusantara.

Berbeda dengan rekan-rekannya yang lain sesama lulusan angkatan ke-7, ES Ito memilih untuk tidak menjadi tentara. Entah apa alasanya, namun sebuah ucapan pendek sedikit banyak menggambarkan alasannya. "Di SMA Taruna Nusantara, saya mendapatkan kesadaran konyol tentang Indonesia. Tapi saya akui cukup memberi wawasan tentang kesatuan Indonesia," ungkapnya.

Kesadaran merupakan himpunan dari pengalaman. Itulah yang diungkapannya, ketika ditanyakan proses pencarian seperti apa yang membuat dia sampai pada puncak kesadaran tentang Indonesia. Pengalaman membentuk kesadaran. Woow.. penuh mauatan filosofis. Diceritakannnya, seusai tamat dari SMA Taruna Nusantara, dia menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI). Kembali di kampus yang banyak
melahirkan cendikiawan Indonesia ini, bibit intelektualnya tersemai. Berbagai kegiatan organisasi kampus diikutinya, dan bebarapa jabatan penting pernah disandangnya. Seperti kordinator I BEM UI.

Kuliah di kampus yang dekat dengan pusat kekuasaan, tentu akan berbeda hasilnya dengan jebolan universitas pinggir. Ada nilai plus yang mereka nikmati. Mereka saban hari menyaksikan sebuah transaksi politik, demi mencapai sesuatu. Tawar menawar
demonstran bayaran, misalnya.

"Saya pernah datang disebuah tempat minum di depan bundaran HI. Disana tempat terjadi tawar-menawar aksi demonstrasi. Proses-proses demokrasi seperti itu semuanya omong kosong. Kita hanya dimainkan wacana dan isu yang membuat otak ini semakin buntu. Hanya elit-elit yang bermain. Kesadaran yang dibangun media, TV pun, yang terus menerus berganti, membuat orang lupa pada esensi masalah yang sebenarnya," tambahnya.

Lalu kenapa dengan beragam pengalaman organisasi dan aktivitas sosial itu, ES Ito hanya menuliskan sepenggal kalimat tentang dirinya? "Saya bukan penulis murahan. Kalau saya penulis murahan, saya tuliskan semuanya. Tapi ngapain saya menonjolkan apa yang telah berlalu. Hal seperti itu sudah berlalu dalam hidup saya, terlalu cengeng untuk saya tuliskan. Penggemar CV itu untuk lamar kerja bukan untuk penulis," jawabannya menyentak dan keluar dari mainstream penulis kebanyakan, yang hobi mengobral CV.(*)

No comments: